Jumat, 29 Juli 2011

Ketika Jerinx Menyalurkan Sisi Sensitif




Badan kekar tato tersebar wajah manis tapi gahar membuat I Gede Ary Astina de-ngan mudah menarik dari sisi visual bagi banyak orang -- khususnya perempuan. Tapi pria yang lebih populer dengan nama Jerinx ini paling tak suka jika dipuji atau disukai seseorang hanya karena tampilan fisiknya. Pujian yang dangkal akan membuatnya risih. Meski begitu, proses jatuh cintanya pada salah satu band yang sangat berpengaruh pada hidupnya -- Social Distortion -- juga berawal dari sebuah ketertarikan visual. Suatu hari pada medio ’96, di sebuah lampu merah di dekat pom bensin di Kuta, Denpasar, Bali, dia melihat satu logo band yang menarik di antara banyak stiker logo band yang menempel di helm seorang peselancar yang diduga warga negara Amerika Serikat. Gambar tengkorak sedang memegang martini dan pistol itu terus melekat di kepalanya hingga suatu hari dia bertanya kepada teman-temannya yang lebih tua yang bekerja di pelayaran soal band bernama Social Distortion itu. Dari mata pindah ke telinga, begitu kaset Social Distortion diterimanya itu diputar (tepatnya album Somewhere Between Heaven and Hell), Jerinx langsung jatuh cinta. Musik punk dengan pengaruh musik country adalah sesuatu yang berbeda dari banyak band punk yang didengarnya saat itu. Kesan yang timbul di benak Jerinx saat mendengar musik Social Distortion: genit sekaligus macho sekaligus sensitif. “Baca liriknya langsung benar-benar kena dengan apa yang saya rasakan,” kata Jerinx tahun 2006 pada Alfred Ginting di majalah Playboy Indonesia. “Lirik-lirik rockabilly itu banyak tentang patah hati, mabuk atau mobil, tentang politik sedikit. Saya merasakan citra seorang berandalan yang sok ganteng. Ada selera humornya.”

Perkenalannya pada Social Distortion berujung pada terbentuknya Culture on Fire (inspirasi nama itu dari proses menikmati narkotika jenis shabu), sebuah band yang membawakan lagu-lagu Social Distortion. Di Culture on Fire, Jerinx bernyanyi dan bermain gitar karena lagu-lagu Social Distortion mudah dimainkan. Gaya bernyanyinya lantas mengadopsi gaya Mike Ness sang vokalis Social Distortion. Dalam perjalanannya, Culture on Fire mengalami banyak bongkar pasang personel hingga pada 2003 ketika ternyata Jerinx sudah menulis banyak lagu untuk band itu, mereka memutuskan untuk mengeluarkan album. Setelah memiliki susunan personel tetap yang dianggap pas, mereka memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Devildice -- nama Culture on Fire dianggap tak membawa hoki. Album pertama Devildice pun rilis dengan judul In the Arms of the Angels. Hanya diedarkan di kalangan terbatas dalam jumlah terbatas. Satu-satunya jurnalis yang mengulas album itu adalah Arian Arifin alias Arian13 yang saat itu masih bekerja di majalah MTV Trax. Jerinx menyebut kata-kata ‘terasingkan’, ‘outcast’, ‘kematian’, ‘gelap’, untuk menggambarkan isi album perdana Devildice.

Itu sebabnya lagu-lagu buatan Jerinx yang beratmosfer seperti tadi tak akan masuk ke album Superman Is Dead (SID) karena tak cocok (kalaupun ada yang masuk, musiknya tetap riang). Ada semacam ikatan emosional dengan lagu itu -- karena secara tak langsung semua lagu Devildice adalah pengalaman pribadi Jerinx. Soal bernyanyi, kali pertama dia bernyanyi di SID adalah di lagu “Lady Rose” di album Black Market Love (2006). Tapi bukan berarti lagu-lagu Devildice adalah buangan dari SID. Jerinx juga memikirkan faktor rasa nyaman gitaris/vokalis Bobby Kool dan pemain bas Eka Rock ketika menawarkan satu lagu untuk SID. “Kasihan Bobby kalau menyanyikannya. It’s very depressive, dia nggak mengalami itu. Biar saya saja yang mengalami, tapi kalau saya nyanyi di SID dengan tema-tema seperti itu, nggak cocok,” kata Jerinx ketika berkunjung ke Rolling Stone pada Senin malam, 4 Juli. Devildice baru saja merilis album kedua mereka yang berjudul Army of The Black Rose. Selain Jerinx, susunan personelnya adalah: Kuzz (bas), TR (drum), Cash (gitar/vokal latar), dan Mr.F (trumpet dan gitar akustik).

Malam itu Jerinx baru saja pulang dari taping untuk program Mata Najwa di Metro TV. Dia jadi salah satu narasumber yang bertema soal musik dan politik. Ada sedikit rasa kecewa sepulangnya dari acara itu. Dia pikir dia akan berada satu forum dengan Si Raja Dangdut Rhoma Irama. Jerinx menulis lagu “Kita Vs Mereka” untuk SID di album Black Market Love setelah adanya kejadian penyanyi dangdut Inul Daratista yang ‘ditegur’ Si Raja Dangdut karena menganggap goyang pinggul Inul terlalu erotis. Padahal, sebelum berangkat ke Jakarta, Jerinx dan kawan-kawannya di Bali sudah membahas kira-kira materi apa saja yang bisa disampaikan kepada Rhoma Irama. Di akun Twitter @JRX_SID, dia menulis soal ini, dan berkata bahwa sayang sekali dia tak sempat bertemu dengan Rhoma. Salah seorang anaknya malah menjawabnya dengan mengatakan akan menyampaikan salam pada Si Raja Dangdut. Yang tak diketahui sang anak, nada menyayangkan itu bukan berarti karena Jerinx mengagumi sosok Rhoma. Tweet dari Jerinx memang kadang sulit dibedakan mana yang konteksnya sedang bercanda atau serius. Lebih sial lagi, beberapa tweet dia sering salah diartikan oleh kaum fundamentalis: Jerinx sering dianggap anti agama Islam dan diserang lewat Twitter. Saya ragu orang-orang yang menyerangnya di dunia maya akan berani menyerangnya secara ta-tap muka alias berhadapan langsung begitu melihat badan Jerinx yang besar nan kekar itu.

“Kepintaran dia itu salah satunya adalah pandai mempromosikan diri sendiri,” kata penulis novel Djenar Maesa Ayu. Malam itu Djenar menemui Jerinx di Rolling Stone Cafe, sekaligus diwawancarai oleh mahasiswa demi kepentingan skripsi. Belakangan ini, Djenar dan penulis Richard Oh sibuk menawari Jerinx peran di film mereka masing-masing. Saat wawancara berlangsung, belum ada keputusan soal film siapa yang akhirnya akan diambil Jerinx dan dia belum bisa bercerita seperti apa film yang akan mereka buat itu, maka kita tak usah bicara lebih banyak soal kemungkinan Jerinx menjadi pemain film. Yang jelas, saat ini status Jerinx selain pemain drum, penulis, pengusaha sandang dan pangan, dia juga seorang pemain gitar dan penyanyi.

Apa yang membuat Anda percaya diri bernyanyi?
Feedback orang lah. “Wah, suara elo bagus juga.”

Dan gaya bernyanyi Anda mengikuti Mike Ness ya.
Awalnya ya, kan mau bikin mirip sama Mike Ness. Saya juga coba nyanyi dengan nada lain, coba terdengar seperti saya sendiri, tapi jadinya begitu juga. [tertawa]

Kenikmatan seperti apa yang Anda dapat dari Devildice?
Saya tipe orang yang senang merasa sebagai underdog. Di Devildice ada perasaan itu, kalau konser nggak jadi bintang utama, lalu masih bawa gitar sendiri karena nggak ada kru. Kalau di SID kan belakangan sudah gampang, sudah ada orang yang melakukannya untuk kami. Sekarang sih sudah mulai bisa menggaji kru, tapi karena jumlah krunya masih sedikit.

Itu yang membuat Anda merasa tetap rendah hati?
Secara nggak sadar mungkin ada [perasaan itu]. Kaki tetap di bumi, walaupun yang ini sudah naik, tapi saya masih belong to the underground scene, karena saya lahir di sana. Dengan adanya Devildice, saya jadi masih bisa dekat dengan scene itu. Walaupun di SID juga kadang-kadang masih dapat suasana begitu, kalau lagi main di Twice Bar lah. [tertawa]

Momen apa yang membuat Anda merasa kalian sudah bukan underdog?
Ketika drum kami dipasang di tengah-tengah panggung pada saat PRJ. Zaman dulu kan ditaruh di pinggir. Jauh. Lalu, di PRJ kemarin tiba-tiba dipasang di tengah dan di atas. Wah, itu pembuktian.

Di SID, semua pembuktian sudah tercapai?
Nggak tahu sih, orang bilang kan jangan cepat puas. Tercapai? Mungkin beberapa sudah, tapi saya juga tidak tahu apa yang sudah dicapai. [tertawa]



Sabtu, 23 Juli 2011

HELLOWEEN HISTORY



Helloween dibentuk pada tahun 1984 di Hamburg, Jerman. Line-up asli disertakan Kai Hansen pada vokal dan gitar, Michael Weikath pada gitar, Markus Grosskopf pada bass, dan Ingo Schwichtenberg pada drum. Tahun itu, band ini menandatangani kontrak dengan Noise Records dan merekam dua lagu untuk kompilasi Kebisingan catatan yang disebut Death Metal. Kompilasi menampilkan band-band Hellhammer, Running Wild, dan Dark Avenger. Dua trek yang "Oernst Kehidupan" oleh Weikath dan Hansen "Metal Invaders," versi yang lebih cepat yang akan muncul di album pertama band full-length.
Helloween merekam dan merilis rekaman pertama tahun 1985, diri berjudul EP berisi 5 lagu. Juga pada tahun itu, band ini merilis pertama full-length album, Walls of Jericho. Selama tur konser berikut, Hansen mengalami kesulitan menyanyi dan bermain gitar pada waktu yang sama. Rekaman terakhir Kai sebagai vokalis band itu pada tahun 1986 pada sebuah EP berjudul Yudas, yang berisi lagu "Yudas" dan dua lagu hidup lainnya. Mengikuti rilis ini, Helloween mulai mencari vokalis baru.

Keeper of the Seven Keys, Parts I & II (1986-1989)
Band ini menemukan seorang penyanyi 18 tahun, Michael Kiske, dari sebuah band lokal bernama Hamburg Nubuat III. Dengan vokalis baru mereka di belakangnya, Helloween mendekati rekaman Kebisingan Internasional dan RCA dan mengusulkan pembebasan LP ganda untuk memperkenalkan line-up baru. Proposisi ini ditolak. Sebaliknya, mereka merekam LP tunggal, Penjaga Tujuh Kunci Bagian I, yang dirilis pada tahun 1987. Pada tahun 1988, Helloween merilis Penjaga Tujuh Kunci Bagian II, album pendamping. MTV menempatkan single "I Want Out" ke rotasi berat dan dalam mendukung acara yang "Headbanger's Ball" show. MTV juga disajikan Tour Headbanger Ball perdana dengan Helloween bergabung dengan San Francisco Bay area thrash metal band Keluaran mendukung headlining Anthrax bertindak. Band ini diselipkan di tempat kedua bergengsi, tepat sebelum ditetapkan Anthrax itu. Pada tumit paparan ini khalayak AS, band ini mencapai sukses di seluruh dunia.
Gitaris Kai Hansen meninggalkan band tiba-tiba segera setelah the European leg of the Keeper of the Seven Keys Part II tour, karena konflik dalam band, masalah dengan Kebisingan Internasional, dan ketidakpuasan yang berkembang dengan kehidupan dalam tur. Dia segera digantikan oleh mantan gitaris Roland Grapow Rampage, yang menyelesaikan sisa tur dengan band.

Pink Bubbles Go Ape dan Chameleon (1989-1993)
Pada tahun 1989 band ini merilis album live berjudul Live di Inggris (Keepers Live di Jepang dan I Want Out Live di Amerika Serikat), menampilkan materi dari tur Eropa 1988. Para anggota yang tersisa terus, tapi lari ke masalah label dengan kebisingan, dan setelah litigasi membuat mereka dari tur dan merilis materi baru, mereka akhirnya dibebaskan dari kontrak mereka. Sebuah album baru tidak akan muncul sampai tahun 1991 ketika, setelah beberapa desas-desus tentang band ini putus, mereka merilis Pink Bubbles Go Ape untuk perusahaan rekaman baru mereka, EMI. Album ini kurang berat, dan dengan judul lagu seperti "Heavy Metal Hamster","I'm Doing Fine, Crazy Man", and "Shit and Lobster",menunjukkan pergeseran ke arah - dan penekanan pada - humor daripada epik suasana hati pada rilis sebelumnya. Akibatnya, Pink Bubbles Go Ape gagal baik secara komersial dan kritis, dan ketegangan mulai membangun di antara anggota band.
Pop-dipengaruhi tindak lanjut Chameleon was released in 1993 Alih-alih mengambil pendekatan yang lebih berat, band berkelana ke wilayah baru, menghindari tanda tangan ganda gitar harmoni untuk synthesizer, tanduk, gitar akustik, paduan suara anak-anak, musik country, grunge, dan ayunan. Seperti album sebelumnya Chameleon gagal secara komersial dan kritis [2] Ketegangan dalam Helloween memburuk,. Dan band dibagi menjadi tiga faksi, dengan Michael Kiske dan Ingo Schwichtenberg di satu sisi, Michael Weikath dan Roland Grapow di sisi lain, dan Markus Grosskopf di tengah, berusaha untuk menjaga perdamaian antara empat laki-laki

Master of the Rings, The Time of the Oath and Better Than Raw (1994-1999)
Helloween kembali pada tahun 1994 dengan mantan Cream pink 69 vokalis Andi Deris sebagai vokalis baru dan Uli Kusch, mantan Gamma Ray Kai Hansen, pada drum. Deris telah didekati oleh Weikath untuk bergabung dengan band pada tahun 1991, namun ia menolak, meskipun tertarik oleh tawaran dan harus berurusan dengan konflik yang muncul antara dia dan bandnya. Pada tahun-tahun sejak Namun, Kiske dipecat dari Helloween dan isu-isu dalam Pink Cream 69 memburuk. Dihadapkan dengan keniscayaan menembak nya, Deris menerima tawaran Weikath itu. Meski tidak memiliki rentang empat oktaf membual oleh Kiske, kesamaan vokal Deris untuk Kai Hansen, antusiasme, kuat lagu keterampilan, kembalinya suara "klasik" ​​Helloween dalam lagu-lagu seperti "Where the Rain Grows" and "The Game Is On" "dan tampak peremajaan Weikath dan Grapow dari tampaknya untuk menyerang akord dengan penggemar. Dengan lineup baru dan kontrak rekaman baru dengan Castle Communications, Helloween merilis album comeback-nya, Master of the Rings.

The Dark Ride and Rabbit Don't Come Easy (2000-2004)

Keeper of the Seven Keys: The Legacy and Gambling with the Devil (2005-2008)

Unarmed - Best of 25th Anniversary (2009)

7 Sinners (2010)
Helloween merilis album baru mereka,7 Sinners, pada tanggal 31 Oktober di Eropa dan November 3 di AS. Sebelum rilis fisik, band membuatnya tersedia di seluruh dunia untuk streaming melalui halaman Myspace-nya. Nama album menyinggung tujuh dosa mematikan yang, menurut Andi Deris, ia pergi langsung ke titik "setelah album akustik, kami membutuhkan pasti sesuatu yang menunjukkan orang-orang tanpa pertanyaan bahwa ini adalah album logam". Band ini memulai tur untuk mempromosikan album. Mereka bergabung dalam konser oleh Stratovarius dan Trick or Treat / Pink Cream 69 sebagai tamu mereka. Yang telah diumumkan pada tanggal 5 April 2011, Via website band yang 7 Sinners sekarang telah diberikan "Gold status' 'di Republik Ceko sendiri

Members

- Andi Deris – lead vocals (1993–present)
- Michael Weikath – lead guitar (1984–present)
- Sascha Gerstner – guitar (2002–present)
- Markus Grosskopf – bass (1984–present)
- Daniel Löble – drums (2005–present)

Singles

- "Judas" (1986)
- "Future World" (1987)
- "Dr. Stein" (1988)
- "Save Us" (1988)
- "I Want Out" (1988)
- "Kids of the Century" (1991)
- "Number One" (1992)
- "When the Sinner" (1993)
- "Windmill" (1993)
- "Step Out of Hell" (1993)
- "I Don't Wanna Cry No More" (1993)
- "Mr. Ego" (1994)
- "Where the Rain Grows" (1994)
- "Perfect Gentleman" (1994)
- "Sole Survivor" (1995)
- "The Time of the Oath" (1996)
- "Power" (1996)
- "Forever and One" (1996)
- "Forever and One Live" (1996)
- "Hey Lord!" (1998)
- "I Can" (1998)
- "Lay All Your Love on Me" (1999)
- "If I Could Fly" (2000)
- "Mr. Torture" (2000)
- "Just a Little Sign" (2003)
- "Mrs. God" (2005)
- "Light the Universe" (2006)
- "As Long as I Fall" (2007)
- "Find my Freedom" (2008)
- "Are You Metal?" (2010)



30 Second To Mars Puaskan Penonton JRL 2011 Hari Pertama



Band rock 30 Second to Mars akhirnya sukses menjadi klimaks dalam gelaran Java Rockin’ Land 2011 dari besar hari itu. Terlihat ketika jadwal naik panggung 30STM ada di pukul 00.45, tetapi panggung utama Gudang Garam Intermusic sudah dijejali ribuan penggemar mereka kurang lebih dua jam sebelumnya.

Tepat setelah Loudness yang mengakhiri aksi panggung di Simpati Stage, akhirnya klimaks tersebut mulai terbangun. Dengan dibuka oleh aksi solo sang drummer, Shannon Leto dan tepuk tangan dari penonton akhirnya sang vokalis Jared Leto pun naik panggung.

Nomor-nomor andalan mereka seperti This Is War, Attack, Search & Destroy, A Beautiful Lie, Hurricae dan beberapa lagu lainnya suskes membuat semuanya bergoyang. Interksi yang dilakukan oleh sang frontman Jared Leto pun sangat apik, berkali-kali dirinya sukses membuat penonton indonesia kompak membuat koor pajang, iringan tangan, hingga berjongkok bersama. Dirinya juga sempat menyelimuti diri dengan bendera Indonesia sebagai bentuk apresiasi penggemarnya di Tanah Air.

“Indonesia, kalian sangat hebat malam ini. Kami akan memainkan satu lagu lagi. Ini kesempatan kalian untuk memaksimalkan tenaga yang kalian punya. Kings & Queens. Selamat malam Indonesia!” teriak Jared dari atas panggung.

Nggak hanya itu saja, Jared pun juga nekat memboyong puluhan penonton JRL’2011 ini untuk naikke panggung untuk membawakan lagu terakhir mereka dalam gelaran ini, Kings & Queens. Keren!



Facebook Gue